Rabu, 13 Juni 2012

Jadi Manusia Paripurna Detik Ini Juga

UMUMnya, semakin berumur orang semakin agamis. Mungkin ini sebuah hukum pertumbuhan manusia. Kanak-kanak sampai muda, perhatian dan pandangan lebih ‘keluar’ diri: mencontoh orang-orang ‘sukses’, meningkatkan kebisaan, membuat capaian [prestasi].

 Memasuki dewasa, mulai mendaki puncak karir, mengumpulkan kekayaan, membangun reputasi. Tua, mulai rajin ke mesjid; ikut pengajian; bersadaqah.


Setelah berumur, bahkan mereka yang sukses ke puncak karir dan hidup berkecukupan, tetap ada rongga yang kosong dalam diri. Dan ketika mendengar pengajian atau melihat orang berderma, orang melihat keparipurnaan hidup. Bayangkan: orang kaya, terpandang, dermawan pula.

Maka, logikanya, carilah harta sebanyak-banyaknya agar bisa banyak beramal. Dan sebelum meninggal, kita sudah meninggalkan amal saleh; sudah membangun mesjid, sekolah, menyumbang kegiatan pengajian; membantu anak yatim dan terlantar; membayar infaq dan sadaqah.

Tentu jalan pikiran ini tak kena untuk orang yang garis hidupnya tak demikian. Misalnya, orang yang sepanjang hidupnya relatif ‘berjalan di tempat’. Lantas ada timbul semacam sikap defensif: “Bukan saya tidak mau beramal, untuk hidup sendiri juga susah.”

Sikap ini merembet ke hal-hal lain. Bila diajak melakukan kegiatan sosial atau meluruskan suatu kesalahan umum, reaksinya serupa: “Ngapain mikirin orang lain, lingkungan, pemerintah aja tak mikirin kita.”
Faktanya, jalan pikiran dan sikap ini juga terkena kepada mereka yang terlihat ‘sukses’. Setelah berada di puncak karir dan berharta, kesempatan untuk beramal bagi sesama tak bertambah besar. Makin kaya orang makin sibuk. Makin berkedudukan makin banyak yang harus diurus dan dipikirkan. Dukungan kepada kegiatan sosial hanya ‘sisa-sisa’ saja – sisa waktu dan uang.

Ada, beberapa, memang, yang berhasil mengubah arah hidupnya kepada kesalehan. Rajin ke mesjid, mengikuti pengajian, melengkapi shalatnya dengan sunat rawatib, tahajud, dhuha – setelah karir mentok dan memasuki MPP [Masa persiapan pensiun].

Ada pula orang menjadi lebih agamis karena penyakit yang makin serius. Dan, kebetulan, pengobatan yang sedang dijalaninya adalah ’pengobatan alternatif’ yang bersandar kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits. Biayanya lebih murah pula.

Terlepas dari faktor usia dan kesehatan, tapi dengan pandangan seperti ini orang perlu makmur dan tua dulu untuk beramal saleh; perlu penyakit dulu untuk sadar bahwa harta, kedudukan dan gengsi bukan andalan.
Pikiran manusia modern memang jarang berpusat pada kenyataan sekarang dan di sini, selalu pada ‘nanti’: “Nanti kalo saya…besok saya akan…saya harus dapat ini dulu baru bisa..

Padahal, semua yang bukan ‘hari ini dan di sini’ tak lebih dari kemungkinan. Tak lebih dari pikiran. Kita begitu yakin bahwa besok akan bangun pagi dan pergi ke tempat usaha seperti biasa, padahal itu kemungkinan saja. Pikiran yang tebentuk oleh kemarin. Yang nyata dan sejati adalah sekarang dan di sini.

Tapi dengan pikiran selalu ke hari depan, orang selalu menganggap waktu sekarang sebagai sesuatu yang kurang; yang harus segera dilewati. Yang sempurna selalu besok. Dan ketika hari berganti esok, pikiran kita pun ke hari esoknya lagi, ‘esok’ yang sekarang terasa lagi sebagai keadaan yang kurang.

Seorang muda yang sedang berada pada masa akhir perkuliahan, pikirannya sudah di hari esok: ‘Nanti aku akan kerja di perusahan anu’, atau ‘buka usaha ini..kawin dengan si ana’. Setelah bekerja dan berumah tangga, dia membeli rumah secara kredit. Lalu pikirannya pun bergeser ke ‘nanti’: “nanti kalo tabunganku sudah 50 juta, aku bisa bayar uang muka untuk mobil…”

Setelah rumah dan kendaraan ada, pikiranya tetap di masa nanti: ‘Nanti kalo rumah dan mobil sudah lunas, aku bisa…”

Walhasil, dia tak pernah benar-benar hidup, menumpahkan perhatiannya, menikmati, mensyukuri, waktu dan keadaan ‘sekarang dan di sini’. Sikap ini berimbas kepada dorongan untuk berbuat baik kepada sesama, selalu ‘nanti kalau sudah…”

Sikap seperti demikian lebih banyak dibentuk oleh ilusi; oleh angan-angan; membayangkan beramal saleh seperti tuan anu, seperti bu ana..seperti Pak Darmawan..

Padahal, setiap orang bisa beramal saleh ‘detik ini dan di sini’ juga. Bila anda sedang duduk di rumah dan melihat lantai berdebu, maka menyapu atau mengepel lantai adalah amal saleh yang tak kurang nilainya. Bila anda sedang duduk di taman dan melihat tanaman agak layu, maka menyirami tanaman adalah amal saleh yang tak kurang nilainya dari bersedekan sekian juta rupiah. Bila anda sedang berjalan kaki di trotoar dan melihat ada bungkus makanan terserak, maka memungut dan memasukkannya ke tempat sampah adalah amal saleh yang tak kurang nilainya dari mengisi kencleng mesjid.

Selalu ada kesempatan bagi setiap orang, dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan lapar dan tak punya makanan, untuk beramal saleh. Di tempat ia berada dan pada detik itu juga.

Dan, lakukan amal saleh itu dengan penuh kesungguhan, ketulusan; sesempurna mungkin, sekecil apa pun dia. Bila perbuatan itu adalah menyapu lantai, maka sapulah lantai sebersih mungkin, dengan sepenuh hati, seakan anda sedang membersihkan tempat suci.

Bila perbuatan itu adalah menyiram tanaman, maka siramlah dengan penuh perhatian dan rasa cinta kepada tanaman, bayangkan bahwa tanaman itu ‘sesama anda dalam beramal saleh’, karena tiap detik membersihkan udara di rumah anda, menyegarkan suasana.

Bila perbuatan itu adalah pekerjaan sehari-hari anda di kantor, maka pastikan niatnya adalah untuk ibadah, untuk amal saleh, dan lakukan setulus-tulusnya, sesempurna mungkin, tanpa berpikir penghargaan atasan dan promosi jabatan.

Bila perbuatan itu adalah ‘sekedar’ memberi tahu seseorang tentang sesuatu, maka lakukan itu dengan ucapan-ucapan nyaman, dengan kata-kata terbaik, seolah-olah anda sedang berbicara dengan kekasih!
Teruslah bersikap demikian. Hidup menjadi sangat indah dan anda menikmatinya dengan penuh rasa syukur dan kesentosaan.

sumber padepokan Kafil Yamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar