Rabu, 13 Juni 2012

Aku Mimpi Bisa! Untuk Sebuah Renungan

Oleh Kafil Yamin

BELAKANGAN ini, banyak sekali pelatihan dan tulisan-tulisan untuk memotivasi diri. Intinya, orang harus percaya bahwa dirinya mampu mencapai impannya, bisa melakukan hal-hal yang hebat. Modalnya utamanya, tanamkan sugesti kepada diri sendir bahwa ‘aku bisa’, ‘aku istimewa’, ‘aku punya daya tarik’, ‘alam semesta mendukungku’ dan seterusnya. Aku..aku..aku..

Intuisi saya langsung menangkap ada yang ‘tidak kompatibel’ dalam pikiran-pikiran semacam itu. Yang lebih mengusik, arus pemikiran itu masuk juga ke kalangan penganut agama [Islam]. Ini sudah jadi trend, arus pikiran zaman, yang sayangnya ditelan begitu saja.


Semua pikiran-pikiran itu bertujuan memperkuat ego, menguatkan identitas ‘aku’, semakin memisahkan kesadaran masing-masing aku dari aku-aku yang lain. Perusahan-perusahaan sering mengadakan pelatihan semacam ini untuk memompa kinerja karyawan. Dan bila kita sempat melihat pelatihan seperti itu, keadaannya jadi terlihat seperti kelas taman kanak-kanak: ‘Semua hebat’, ‘semua oke’, ‘semua istimewa’.
Suatu sore, saya secara kebetulan hadir di satu pelatihan agen asuransi. Mentornya membuka pelatihan dengan salam ‘Semangat pagi!’ [Plesetan dari selamat pagi]. Lalu serentak disambut peserta: ‘Semangat pagi!’

Bukankah hari sudah sore? “Kita tidak mengenal sore. Kita selalu pagi. Artinya semangat kita, selalu segar,” jelas sang mentor.

Kata mereka, begitulah kunci sukses.

—-
Sekarang, marilah kita melihat hal semacam ini dengan penuh kejujuran. Dengan hati. Maka yang terlihat adalah: itu semua usaha kamuflase; membohongi diri. Itu tak lebih dari pencucian otak – bahkan lebih tepatnya pencemaran otak.

Realitas tidak ada hubungannya dengan sugesti.  ‘Aku hebat’, ‘aku bisa mendapat apa yang ku mau’, ‘aku bisa mewujudkan mimpiku’ – ini semua hanya ilusi. Hanya ilusi.
Apalagi kalau percaya pada aksioma Einstain – dan saya percaya – bahwa ‘reality is merely a repeated illusion’. 

Maksud saya, jangankan sugesti, bahkan realitas pun adalah ilusi.

300 ribu supporter menanamkan sugesti kepada para pemain timnas ‘ayo Indonesia bisa’, ditambah tiap pemain timnas sendiri dan pelatih pun mensugesti diri masing-masing, versus hanya beberapa ratus suporter dan timnas Malaysia yang tidak menanamkan sugesti ‘ayo Malaysia bisa’, hasilnya adalah kekalahan timnas Indonesia.

Katakanlah 240 juta rakyat Indonesia mensugesti hal yang sama kepada timnas sepakbolanya untuk melawan Manchester United, insya allah, kalah. Hehe..

Tentu saja dukungan dan sugesti memompa semangat, tapi itu tetap saja ilusi. Yang nyata bukan hanya semangat, tapi juga mutu permainan, ketahanan fisik, ketepatan strategi, dsb.

Maksudnya untuk mendongkrak kepercayaan diri. Tapi kepercayaan diri yang benar, bukan ilusi. Kepercayaan diri yang benar adalah menerima, menikmati, menyukuri diri apa adanya. Berdasarkan itu ia berbuat sebaik mungkin.

313 orangtentara Rasulullah bisa mengalahkan lebih dari 1000 tentara Quraisy dalam perang Badar, bukan karena Rasulullah terus-terusan mensugesti kamu bisa, kamu pasti menang, tapi karena semua pasukan pasrah, rela mati. Mereka sudah menang sebelum bertempur karena apapun hasilnya, apakah mati atau bertahan hidup, ridha Allah pada mereka. Tentu saja dilengkapi strategi yang tepat dan kemampuan mumpuni.

Justru, pemimpin pasukan Quraisy Amr bin Hisyam lah yang mensugesti pasukannya, membangkitkan rasa ‘harga dirii’ kaum Quraisy dan men janjikan kemenangan.

Pada tataran fisik, pasukan Rasulullah pun bisa kalah, seperti pada perang Uhud. Karena realitasnya memang kalah disiplin. Rasulullah tak pernah menjamin kemenangan perang. Ia hanya menyampaikan bahwa setiap mu’min wajib berperang di jalan Allah dengan seikhlas-ikhlasnya, sebaik-baiknya. Janjinya bukan kemenangan perang, tapi kemenangan sejati – mendapat ampunan dan ridha Allah. Dan ridha Allah bisa didapat meskipun kalah perang.

Kepada 50 pemanah yang dipimpin Abdullah Ibn Jubair, Nabi Muhammad berkata, “Cegah kavaleri musuh masuk dari belakang kita. Tetaplah di tempatmu. Jika kalian melihat kami menang, jangan bergabung; jika kalian melihat kami kalah, jangan datang menolong kami..”

‘jika kalian melihat kami kalah’ kata Rasulullah, berarti beliau tak memastikan menang [perang].
—–

Di belakang identitas aku, ada mata kesadaran yang diam dan sunyi, tapi sepenuhnya sadar. Ia bahkan mengawasi pikiranmu sendiri. Itulah aku-mu yang sebenarnya. Aku-sadarmu itu tidak dibingkai identitas dan citra yang berubah-ubah. Dia tetap; tidak terkena pemisahan status sosial. Dia adalah inti kehadiranmu dalam hidup.

Engkau hanya bisa masuk kedalam kesadaran seperti ini bila engkau membebaskan diri dari segala mimpi tentang ‘aku hebat’, ‘aku bisa meraih mimpi’ itu, sembari menghayati dan merasakan sesuatu yang maha hebat di luar dan di dalam dirimu. Dan semua yang engkau lihat dan rasakan tak lain dari ungkapan yang maha ada. Bahkan engkau sendiri ungkapan dari yang maha ada itu. Bila engkau bisa merasakannya, egomu dengan sendirinya lebur karena tak berarti apa-apa.

alaa innahu bikulli syaiin muhiith’ … bahwa sesungguhnya DIA maha meliputi segala sesuatu [Q.S. Al-Fushilat:54].

Sebab, dalam aku-sadarmu tak ada mimpi, tak ada kekhawatiran, tak ada bangga dan juga renda diri, tak ada sesal dan angan. Hanya hadir. Hadir dengan sadar.

Aku-sadarmu itu pun tak merasa terpisah dengan segala apa yang ada. Ia menyatu dengan segala apa yang ada, sehingga tak mungkin terkena identitas ‘hebat’, ‘istimewa’, ‘sukses’.

Nah, kepercayaan diri yang sejati ada di sini – di persamayaman ‘muthma’innah’. Bahkan tak tepat juga mengatakannya ‘kepercayaan diri’, karena itu adalah kesaksian dan pengalaman.

Sedangkan, ‘aku hebat’, ‘aku bisa’, ‘aku sukses’, adalah aku-artifisial. Aku buah pikiranmu sendiri. Ego. Al-Qur’an menyebutnya al-hawaa. Ya, ego atau hawaa adalah hasil rekaan pikiranmu ditambah citra dari pikiran orang lain yang memuji atau merendahkanmu. Dan engkau mempercayainya.

Bila 5-4 orang kawanmu bilang engkau hebat, maka nyamanlah perasahaanmu. Tiba-tiba ada orang merendahkan atau melecehkanmu, maka engkau merasa terluka. Yang merasa nyaman maupun terluka itu adalah egomu. Citra tentang dirimu yang engkau bikin sendiri. Dia bukan aku-mu yang sebenarnya.
Pelatihan-pelatihan motivasi yang belakangan ini berkembang adalah untuk menumbuhkan ego ini. Aku artifisial. Aku rekaan, yang semakin memisahkan diri dari aku yang sebenarnya, yang bening, tentram dan menyatu dengan hidup.

Bila setelah beberapa kali pelatihan dan ribuan kali mensugesti diri bahwa ‘aku bisa’, ‘aku sukses’, engkau mendapati dirimu sendiri ternyata tidak bisa dan tidak sukses, jalan satu-satunya adalah mensugesti lebih sering dan lebih banyak lagi: ‘aku bisa..aku sukses..aku hebat’, atau engkau putus asa, maka seluruh hidupmu adalah mimpi dan tak pernah menikmati dirimu yang sebenarnya, yang tiap saat dilimpahi anugrah Allah.

Inilah yang dicemaskan nabi Muhammad dari ummatnya: panjang angan-angan dan mengikut hawa.
Angan-angan seperti ini ditanamkan dalam ‘pendidikan modern’, bahkan pendidikan ‘Islam modern’ ikut-ikutan. Jargon-jargon seperti: ‘jangan takut bermimpi’; ‘raihlah mimpimu, engkau bisa’, semakin popular. Makin banyak orang hidup dalam mimpi; hidup tidak sadar; tidak hadir ‘kini dan di sini’: hari ini berimpi tentang esok, esok bermimpi tentang lusa, lusa bermimpi tentang bulan depan, begitu seterusnya. Kapan engkau hendak hidup secara nyata ‘kini dan di sini’, hidup yang nyata?

Maka, banyak orang hidup dengan ‘aku artifisial’, ‘aku buatan’. Manusia semakin tersesat dalam pikirannya sendiri. Di mana-mana banyak orang, tapi itu kumpulan ego-ego. Di kantor-kantor, di jalan, di tempat-tempat perayaan, di pusat perbelanjaan, di perguruan tinggi apa lagi, kebanyakan yang kita lihat adalah ‘aku-aku buatan’, yang gampang meledak bila engkau menyinggungnya secara tidak sengaja.

Lihatlah, dunia gampang sekali terpicu perseteruan dan pertengkaran, saling membunuh. Mereka adalah hawa-hawa. Diri-diri bikinan. Harga diri, kehormatan, status, adalah bikinan. Semua itu tak ada alam kehehingan aku sejatimu.

Tak susah mengetahui aku sejatimu. Bangunlah di akhir malam. Setelah usai shalat, sisakan waktu duduk tanpa memikirkan apa-apa. Nikmati keheningan malam. Engkau mengada tanpa embel-ebel. Itulah… engkau, itulah juga aku.

Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang me­lupakan Allah, lalu Allah pun membuat mereka lupa kepada dirinya sendiri; itulah orang-orang yang fasik [Q.S. 59:15].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar