Tulisan merupakan refleksi eksistensi manusia dalam dunia. Melalui tulisan, manusia beralih dari zaman prasejarah menuju sejarah. Peradaban berkembang semakin cepat karena huruf-huruf yang tergores mulai dari dinding, daun, kertas, sampai yang tersimpan secara digital. Dengan tulisan, masa lalu dapat dipelajari sehingga bisa diperbaiki.
Peradaban
modern telah mensyaratkan manusia untuk menulis. Menulis menjadi
pekerjaan sehari-hari. Sejak berusia muda, manusia sudah harus mulai
mengenal huruf, angka, dan beberapa tanda baca yang melengkapi keduanya.
Semakin maju peradaban, tulisan menjadi semakin penting.
Melalui
tulisan, manusia menuangkan pemikiran. Pemikiran yang tercatat tersebut
merupakan modal pengetahuan bagi khalayak. Selanjutnya, masyarakat dapat
memilih untuk menyetujui atau menolak pemikiran tersebut. Persetujuan
dan penolakan tentunya akan kembali menghasilkan pemikiran baru yang
tertuang dalam tulisan. Begitulah seterusnya, tesis bertemu antitesis
kemudian berakhir dengan sintesis, yang akhirnya kembali menjadi tesis
dan bertemu antitesis. Dan demikianlah, pemikiran menjadi semakin
berkembang. Alhasil, peradaban pun berkembang, melalui tulisan. Yang
pada akhirnya, manusia itu sendiri yang mendapat manfaat dari
perkembangan peradaban.
Sebagai contoh
dari teori di atas, mari kita melihat bagaimana teori evolusi
berkembang. Penyebaran teori tersebut tak lepas dari pemikiran Charles
Robert Darwin. Meskipun bukan perintis awal, tetapi berkat Darwin, teori
evolusi dapat dikenal khalayak luas. Darwin menuangkan pemikirannya
dalam buku berjudul The Origin of Species (Asal Usul Spesies) pada 1859.
Banyak orang
menerima pemikiran Darwin. Teori tersebut pun diperkenalkan secara terus
menerus hingga masa kini. Bahkan, teori evolusi milik Darwin telah
masuk dalam kurikulum pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pemikiran Darwin yang tertuang dalam tulisan telah berbuah menjadi
pengetahuan bagi khalayak.
Walaupun
begitu, penolakan terhadap teori evolusi milik Darwin juga mengemuka.
Beberapa pakar menemukan kejanggalan penjelasan Darwin dalam tulisannya.
Mereka menganggap penjelasan tersebut tak terjelaskan karena tidak
memiliki dasar ilmiah. Darwin mungkin memiliki pemikiran salah dalam
teori evolusi yang disampaikan. Tetapi, menurut penulis, Darwin telah
berjasa dalam peradaban. Karena, ia berani menuliskan pemikirannya.
Sehingga, orang lain bisa melakukan perbaikan kesalahan yang ia lakukan,
kalau memang benar pemikiran yang dituangkan Darwin salah. Peradaban
pun dapat semakin maju karena tulisan Darwin.
Beda Waktu
Seperti
dikatakan sebelumnya, tulisan merupakan batas peralihan zaman prasejarah
menuju sejarah. Akibat tulisan yang ditinggalkan, jejak peradaban masa
lampau mampu ditemukan. Tetapi, peralihan zaman tidak berjalan seiringan
pada semua bangsa. Hal itu karena, setiap bangsa memiliki waktu yang
berbeda untuk mampu menghasilkan tulisan sebagai pondasi peradaban.
Misal saja, peradaban Mesopotamia (3500 SM), Mesir kuno (3150 SM),
ataupun Inca (1200 M).
Dari peradaban
masa lampau, peradaban modern belajar dan berkembang. Tetapi tetap saja,
setiap bangsa masih memiliki tingkat peradaban berbeda dalam waktu yang
sama. Ambil contoh, bangsa Jepang pada pertengahan abad 20. Peradaban
Jepang waktu itu mampu unggul lebih jauh dibandingkan bangsa lain di
Asia. Walaupun sayangnya, keunggulan peradaban Jepang saat itu digunakan
untuk menguasai bangsa lain di Asia.
Perbedaan
tingkat peradaban di antara setiap bangsa ternyata terus berlanjut
sampai saat ini. Kawasan Eropa dan Amerika Utara (atau lazim disebut
kawasan negara-negara barat) mayoritas berisikan negara-negara maju.
Sementara, kawasan lain masih tertinggal satu dan bahkan beberapa
langkah. Meskipun, hal itu tidak serta merta berlaku secara keseluruhan.
Beberapa bangsa di kawasan lain ternyata ada juga yang telah mampu
menyamai keunggulan negara-negara barat. Sebut saja, Jepang dan Cina di
Asia.
Untuk mencapai
keberhasilan peradaban, kedua negara itu mengutamakan pengembangan
pengetahuan, yang tak lepas dari dunia pendidikan. Dengan dasar
pendidikan berkualitas yang ditanamkan sejak dini, pengetahuan
berkembang mengikuti budaya membaca dan menulis. Alhasil, peradaban pun
mengalami peningkatan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Pengetahuan Rendah
Pengembangan
pengetahuan di Indonesia belum mampu mencapai titik optimal. Kondisi itu
terjadi karena upaya menuju hal tersebut belum menjadi sesuatu yang
popular. Salah satu faktornya, masyarakat Indonesia masih senang dengan
budaya lisan.
Budaya lisan
sebenarnya bisa menjadi pendukung budaya tulisan yang mencatatkan
pengetahuan. Apabila, budaya lisan dilakukan dalam diskusi ilmiah
membahas pengetahuan itu sendiri, baik secara formal maupun informal.
Pada kenyataannya, jumlah diskusi ilmiah yang terselenggara masih sangat
sedikit.
Untuk mudahnya,
mari melihat perilaku mayoritas sekitar lingkungan kita. Salah satu
kelompok yang ‘sangat akrab’ dengan budaya lisan adalah ibu rumah
tangga. Kelompok ini telah mendapatkan stigma yang kental dengan ngerumpi
saat saling tak sengaja bertemu. Entah ketika membeli sayuran di
pedagang keliling atau tak sengaja berpapasan. Kalaupun mau terjadwal,
maka dibuatlah arisan. Isinya tetap saja rumpian yang lebih banyak membicarakan perilaku orang lain atau gosip artis di televisi.
Perilaku
tersebut ternyata menular kepada generasi penerus. Mudah sekali untuk
melihat, beberapa anak muda bergerombol di kafe atau mal. Bahkan,
beberapa di antaranya melakukan hal itu dengan sengaja membolos sekolah.
Hanya untuk ngerumpi.
Kondisi budaya
lisan tersebut semakin diperparah dengan budaya menonton. Sekadar
melepas lelah, menonton mungkin berguna untuk merelaksasi otak.
Realitasnya, program acara tersebut telah ‘memaksa’ masyarakat untuk
duduk di depan televisi selama berjam-jam. Padahal, mayoritas sajian
program acara yang ditampilkan televisi tak lepas dari gosip, sinetron,
musik, dan komedi situasi, yang tidak banyak memberikan pengetahuan.
Budaya lisan dan menonton menjadikan masyarakat terlena dengan kemudahan
perilaku. Hal itu, disadari atau tidak, menghasilkan sikap malas
berpikir.
Imbas dari
sikap malas berpikir berimplikasi pada rendahnya budaya membaca.
Padahal, membaca merupakan landasan dasar untuk bisa menulis. Semakin
minim kegiatan membaca bisa dipastikan semakin sedikit tulisan yang
dihasilkan. Salah satu indikasi yang dapat dilihat adalah jumlah
penerbitan buku.
Jumlah terbitan
buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18 ribu judul buku per
tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40
ribu judul buku per tahun, India sebanyak 60 ribu judul buku per tahun,
dan Cina sekitar 140 ribu judul buku per tahun (Kompas, 25/6/2012).
Dari sisi
tulisan ilmiah, kondisinya pun serupa. Berdasarkan data Scimagojr,
Journal, and Country Rank 2011, Indonesia berada di ranking 65 dengan
jumlah 12.871 publikasi. Posisi Indonesia di bawah Kenya dengan 12.884
publikasi. Berada di peringkat pertama, Amerika Serikat dengan 5.285.514
publikasi. Bahkan, Singapura yang negerinya kecil saja ada di posisi 32
dengan 108.522 publikasi (okezone.com, 21/2/2012).
Perbaikan Sistem Pendidikan
Usaha perbaikan
sistem pendidikan Indonesia telah mulai dilakukan dengan penyediaan
alokasi anggaran yang mencukupi. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
pengalokasikan anggaran untuk pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan
APBD.
Alokasi
anggaran yang mencukupi memang menjadi salah satu faktor penting untuk
memajukan pendidikan di Indonesia. Walaupun begitu, anggaran tidak
menjadi satu-satunya faktor peningkatan kualitas pendidikan. Faktor lain
yang cukup penting adalah pengaturan kurikulum pendidikan.
Pelajaran
menulis merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran
ini adalah pelajaran paling awal yang telah diberikan sejak pendidikan
dasar. Pertama kali masuk sekolah, seorang anak akan diajarkan cara
membaca, berikutnya menulis. Tidak berhenti pada pendidikan dasar,
pelajaran menulis terus diajarkan secara kontinu sampai pendidikan
menengah bahkan perguruan tinggi. Mata pelajaran Bahasa Indonesia tetap
ada pada setiap tingkat pendidikan.
Pertanyaannya
adalah, apakah pelajaran menulis berhasil diserap? Apabila merujuk pada
minimnya jumlah penerbitan buku dan sedikitnya jumlah publikasi ilmiah,
dapat dikatakan, pelajaran menulis yang diberikan dalam pendidikan
formal gagal. Tidak seluruhnya, tetapi sebagian besar.
Lalu, apa
persoalannya? Menurut penulis, penyebabnya tak lebih karena kurikulum
pelajaran Bahasa Indonesia masih mengutamakan pemberian teori. Teori
memang penting sebagai dasar menulis. Tetapi, hal terpenting untuk bisa
menulis adalah praktik. Sudah banyak pakar yang mengatakan, untuk bisa
menulis, hal yang harus dilakukan hanya berlatih, berlatih, dan
berlatih. Untuk itu, pengaturan kembali persentase antara pemberian
teori dan praktik harus menjadi tinjauan utama, yang akan menjadi dasar
kurikulum pendidikan. Berikan teori secukupnya, selebihnya, berikan
kesempatan kepada anak didik untuk berlatih, berlatih, dan berlatih.
Jika seorang
anak telah terbiasa untuk menulis sedari kecil, itu akan menjadi bibit
perilaku positif ketika dewasa. Kebiasaan pada saatnya akan menjadi
budaya apabila dilaksanakan secara terus menerus. Pendidikan formal
memiliki peran sangat besar. Meskipun banyak pihak menganggap keluarga
merupakan institusi terdekat yang banyak memberikan pengaruh, nyatanya
masih banyak orangtua yang memercayakan perubahan perilaku anak dalam
institusi pendidikan formal.
Perubahan
sebaiknya harus segera dimulai untuk membangun peradaban. Dengan
menunjukkan eksistensi melalui hasil tulisan dari hasil penuangan
pemikiran. Menulis tidak mengenal profesi. Apapun
profesi seseorang, dia akan memiliki keunggulan apabila memiliki
kemampuan menulis. Seperti halnya Darwin yang merupakan seorang
naturalis. Meskipun banyak naturalis di dunia, tetapi Darwin mampu lebih
unggul karena mampu menuangkan pemikirannya dalam tulisan. Mari bangun
peradaban dengan mulai menulis.
Sumber Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar