Begitu buruk citra polisi Indonesia,
jiwa nan rapuh. Aneka julukan miring tertuju padanya. Rawan lalu lintas
penyuapan, amplopisme, pemberian, hadiah, gratifikasi, ucapan terima
kasih, upeti, setoran, sogokan bahkan sampai tindakan pemerasan.
Kabar teraktual, tergadangnya pembesar
polisi, Ito Sumardi Vs Nazaruddin -yang sedang bernyanyi merdu di
televisi kita- dalam kasus penyuapan yang memerkokoh lilitan
problematika internal Demokrat yang kian menyeruak dus seolah tak bertepi itu.
Entah kurikulum sejenis apa yang
diajarkan saat mereka pendidikan. Benarkah kurikulum 501 masih
diterapkan di sana?. 50 juta, 1 calon siswa. Kurikulum 501 telah
melahirkan alumni-alumni kompetensi BELOK KIRI alias doyan neko-neko, ambil jalan yang keliru karena ia meniru polisi lain dan membuat pelayanan masyarakat jadi pilu.
* * *
Namun polisi yang satu ini beda. Ia tak pernah mau menerima pemberian atau ucapan terima kasih. “Jangan…! Saya punya gaji kok”. Ia berpangkat AKP, rumahnya di pinggir pagar Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Alumni SECAPA Sukabumi, Jawa Barat.
Dia pengagum Pak Hoegeng, tiga dari
polisi jujur Indonesia versi Gus Dur -Limpahan Rahmat Padamu Guru
Bangsa- plus patung polisi dan polisi tidur.
Karena ia keseringan menolak, iapun dicerca masyarakatnya. “Susah berurusan dengan bapak polisi itu. Tidak mau menerima apa-apa. Kita jadi tidak enak”, begitu celotehan seorang warga.
Polisi seperti ini memang tak lazim,
tidak umum, tidak lumrah. Perilakunya ‘menyimpang’ dari polisi-polisi
‘normal’ lainnya. Harga diri polisi ini tidak tertera di raut wajah dan
cara bertuturnya. Saya tidak mengada-ada. Saya bertemu beberapa kali di
kediamannya untuk beberapa urusan.
Bahkan pernah seorang keluarga ingin
masuk Sekolah Polisi Negara (SPN) di Batua, Makassar dengan cara
menyogok. Ia malah bilang, langsung saja ke SPN Batua POLDA Sulawesi
Selatan. Beliaupun memberi jurus: “Kalau memang cerdas, pasti lolos”.
* * *
Ia sudah beberapa kali dimutasi sebab ia
dinilai kurang ‘kerja sama’, sebagai aparat yang tunduk kepada kode
etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, ia tak melakukan
klarifikasi alasan institusi yang memutasikannya. Ia digusur ke Pasang
Kayu, sebuah daerah terisolir berbatasan Sulawesi Barat-Sulawesi Tengah.
Sebagai teman, saya upayakan
membezuknya. Sayapun bertemu lagi, dan karakternya tetap saja begitu,
tak berubah. Enggan menerima uang dalam menjalankan profesinya sebagai
pengayom masyarakat. Lagi-lagi masyarakat mencibirnya, bahkan
rekan-rekannyapun memberi gelar: sok suci, sok moralitas, sok jujur.
Masyarakatpun mencibir, pantasan
hidupnya begitu-begitu saja. Ke kantor naik motor tua, kadang mogok di
jalan. Rumahnya kecil, sempit dan perabot seadanya. Tiada tanda-tanda
kalau penghuninya adalah seorang polisi.
Cibiran masyarakat sekitar sampai juga di telinga beliau. Komentar bapak polisi ini cukup logically
sebab ia menyatakan bahwa persepsi masyarakat sudah terlanjur buruk
kepada polisi sehingga menjadi trauma dan sangat sulit untuk
direhabilitasi. Posisi polisi di mata masyarakat sudah terlanjur salah.
Polisi juga sudah serba salah, kita baik-baik dicibir, kita buruk
diumpat. Spontan polisi ini berdiri sambil menjulurkan telapak tangan
terbuka dan berkata:
“Jadi maunya masyarakat apa?”.
“Apa mereka tak merasa bersalah karena selalu mau jalan pintas?”.
“Apa mereka tidak memberi kontribusi atas hancurnya kepolisian kita?.
“Apa mereka tak merasa bersalah karena selalu mau jalan pintas?”.
“Apa mereka tidak memberi kontribusi atas hancurnya kepolisian kita?.
“Jika anaknya ditangkap karena narkoba, mereka nangis-nangis untuk dilepaskan”
“Kesadaran hukum apa semua ini?”
“Sampaikan kepada mereka semua, apa yang telah mereka perlakukan terhadap polisi?”
Kalimat-kalimat AKP ini membuat saya
hanya mampu tertegun. Kuterdiam. Setidaknya memanglah antara masyarakat
dengan kepolisian memiliki kecocokan, ada polisi bersedia disogok, hadir
pula masyarakat siap menyogok. Maka kloplah.
Tetapi jika sang polisi tak mau disogok,
meranalah calon penyogok. Polisi yang hobi disogok tapi masyarakat
tidak mau, meranalah polisi itu. So, mau pilih polisi yang mana?.
Hemat saya, antara polisi dan kita
(masyarakat, red) saling mendidik, saling membesarkan dalam budaya
penyuapan. Saya jujur, saya pernah melakukan itu. Bagaimana dengan
Anda?.
Yang pasti seorang polisi yang doyan
sogokan melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2006 khususnya pasal 5 yang berbunyi: Menjaga Citra dan
Kehormatan Lembaga POLRI.
Sumber Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar