Oleh Yusuf Daud
![]() |
Yusuf Daud |
Wali Nanggroe, Paduka Yang Mulia Muhammad Hasan Tjik di Tiro,
nama ini begitu akrab bagi sebagian besar masyarakat Aceh. Bagi orang
Aceh, nama Hasan Tiro berasal dari kaum terhormat, ibarat raja yang
sangat dicintai oleh rakyatnya, hingga kepergiannya pun untuk berpulang
ke Rahmatullah diantar oleh ribuan rakyat Aceh dan ditangisi oleh
jutaan lainnya. Sementara itu, rekan seperjuangan almarhum yang saat
ini menjabat sebagai Pemangku Wali, Malik Mahmud juga dianggap sebagai
figur bersih dan berwibawa yang membawa kedamaian bagi rakyat Aceh atas
kepemimpinan dan tauladannya. Tapi benarkah demikian kenyataannya?
Bagaimana jika itu semua adalah bualan semata dengan cara memanipulasi
sejarah dan merekayasa keadaan supaya berpihak kepada keuntungan
pribadi? History, bisa berarti HIS STORY.
SYAHDAN, adalah seorang “sultan” yang hendak memegang tampuk kepemimpinan di Aceh, dengan nama monarkis yang terlampau panjang: Al Mudzabbir Al Maulana Al Malik Al Mubin Profesor Doktor Sultan Di Tiro Muhammad Hasan Ibnal Sultan Maat di Tiro.
Memang panjang gelarnya itu. Sepanjang riwayat bualannya dari Swedia
dan perjalanan sejarah Aceh yang bersimbah darah akibat ulah Sultan
“jadi-jadian” ini.
Nama berbaris-baris itu terdengar
jumawa. Anehnya, Hasan mengangkat anak tunggalnya, Karim Tiro, sebagai
putra mahkota untuk menggantikan posisinya sebagai “raja” Aceh. Cara
yang feodalistis dan dinastik ini sangat bertentangan dengan sikap
masyarakat Aceh yang egaliter dan demokratis. Manipulasi sejarah ini
ditetapkan Hasan Tiro yang menjadi landasan pengukuhan dirinya sendiri
sebagai wali nanggroe dan rekan sejawatnya Malik Mahmud sebagai
Pemangku Wali dalam rapat rahasia sigom donya di Stavanger Norwegia.
Lucunya lagi, rapat tersebut dijadikan landasan oleh DPRA yang memang
sebagian besar merupakan kader yang berasal dari Partai eks kombatan
GAM, Partai Aceh. Klop sudah kebohongan dan bualan yang diundangkan.
Fakta Sejarah
Semasa hidupnya, Hasan Tiro sering
mengaku sebagai keturunan ulama Di Tiro, bahkan berani mengklaim
dirinya sebagai pewaris tunggal Teungku Chik Di Tiro. Padahal, menurut catatan sejarah, ahli waris Teungku Chik Di Tiro (dari garis keturunan laki-laki) berakhir pada 5 September 1910.
Yakni, setelah wafatnya Teungku Chik Mayet di Tiro yang gugur membela
Indonesia melawan Belanda. Bukan seperti Hasan Muhammad Tanjong Bungong
yang lari ke luar negeri diuber-uber tentara republik. Lelaki bertubuh
kurus pendek ini lahir di Tanjong Bungong, Lamlo, Pidie, sebagai putra
kedua Leubee Muhammad Tanjong Bungong, pada 1923. Tidak sebuah
riwayat pun yang menukilkan ayahnya, Leubee Muhammad, sebagai seorang
ulama maupun berdarah biru. Juga tidak ada pertautan dengan Teungku
Chik Di Tiro. Hasan lahir sebagai anak petani.
Hasan Tiro= Hasan Leubee Muhammad Tanjong Bungong
Jika merunut garis keturunan, maka Hasan mesti menyebut nama lengkapnya Hasan Leubee Muhammad Tanjong Bungong,
bukan Hasan Tiro, konon katanya pula sultan Aceh. Bahkan ada sumber
yang menyebutkan bahwa sesungguhnya ia juga keturunan Jawa-Banten. Aneh
dan lucu bukan? Jika semasa hidupnya ia menjadikan kebodohan dan
kekurangan orang Jawa sebagai bagian dari propaganda negatif yang selama
ini ditebar di Aceh hingga membuat orang Aceh percaya sebuah
kebohongan daripada kebenaran dan fakta. Ibarat menjilat ludanya
sendiri, Hasan Tiro semasa hidupnya telah menyebarkan kebencian demi
keuntungan pribadinya sendiri
Sekarang, Hasan Tiro telah wafat,
ketika rakyat Aceh telah terlanjur memercayai segala hal yang menjadi
rekayasa politik demi keuntungan pribadinya semata. Sejarah yang dalam
bahasa inggris adalah History yang saya plesetkan dalam kasus ini
menjadi HIS STORY( ceritanya=bualannya). Bualan Hasan Tiro yang
berhasil menempatkan dirinya pada posisi yang begitu terhormat di mata
rakyat Aceh. Setelah Hasan Tiro tiada, masihkah bualan dan kebohongan
ini berlanjut? Mungkin masih, karena Pemangku Wali, Malik Mahmud Al
Haytar sangat mungkin menjadi suksesor manipulasi sejarah Aceh, entah
sampai kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar