Senin, 06 Agustus 2012

Menulis untuk Peradaban

Oleh : Ridwan Hardiansyah
 
Tulisan merupakan refleksi eksistensi manusia dalam dunia. Melalui tulisan, manusia beralih dari zaman prasejarah menuju sejarah. Peradaban berkembang semakin cepat karena huruf-huruf yang tergores mulai dari dinding, daun, kertas, sampai yang tersimpan secara digital. Dengan tulisan, masa lalu dapat dipelajari sehingga bisa diperbaiki.

Peradaban modern telah mensyaratkan manusia untuk menulis. Menulis menjadi pekerjaan sehari-hari. Sejak berusia muda, manusia sudah harus mulai mengenal huruf, angka, dan beberapa tanda baca yang melengkapi keduanya. Semakin maju peradaban, tulisan menjadi semakin penting.


Melalui tulisan, manusia menuangkan pemikiran. Pemikiran yang tercatat tersebut merupakan modal pengetahuan bagi khalayak. Selanjutnya, masyarakat dapat memilih untuk menyetujui atau menolak pemikiran tersebut. Persetujuan dan penolakan tentunya akan kembali menghasilkan pemikiran baru yang tertuang dalam tulisan. Begitulah seterusnya, tesis bertemu antitesis kemudian berakhir dengan sintesis, yang akhirnya kembali menjadi tesis dan bertemu antitesis. Dan demikianlah, pemikiran menjadi semakin berkembang. Alhasil, peradaban pun berkembang, melalui tulisan. Yang pada akhirnya, manusia itu sendiri yang mendapat manfaat dari perkembangan peradaban.

Sebagai contoh dari teori di atas, mari kita melihat bagaimana teori evolusi berkembang. Penyebaran teori tersebut tak lepas dari pemikiran Charles Robert Darwin. Meskipun bukan perintis awal, tetapi berkat Darwin, teori evolusi dapat dikenal khalayak luas. Darwin menuangkan pemikirannya dalam buku berjudul The Origin of Species (Asal Usul Spesies) pada 1859.

Banyak orang menerima pemikiran Darwin. Teori tersebut pun diperkenalkan secara terus menerus hingga masa kini. Bahkan, teori evolusi milik Darwin telah masuk dalam kurikulum pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pemikiran Darwin yang tertuang dalam tulisan telah berbuah menjadi pengetahuan bagi khalayak.

Walaupun begitu, penolakan terhadap teori evolusi milik Darwin juga mengemuka. Beberapa pakar menemukan kejanggalan penjelasan Darwin dalam tulisannya. Mereka menganggap penjelasan tersebut tak terjelaskan karena tidak memiliki dasar ilmiah. Darwin mungkin memiliki pemikiran salah dalam teori evolusi yang disampaikan. Tetapi, menurut penulis, Darwin telah berjasa dalam peradaban. Karena, ia berani menuliskan pemikirannya. Sehingga, orang lain bisa melakukan perbaikan kesalahan yang ia lakukan, kalau memang benar pemikiran yang dituangkan Darwin salah. Peradaban pun dapat semakin maju karena tulisan Darwin.

Beda Waktu

Seperti dikatakan sebelumnya, tulisan merupakan batas peralihan zaman prasejarah menuju sejarah. Akibat tulisan yang ditinggalkan, jejak peradaban masa lampau mampu ditemukan. Tetapi, peralihan zaman tidak berjalan seiringan pada semua bangsa. Hal itu karena, setiap bangsa memiliki waktu yang berbeda untuk mampu menghasilkan tulisan sebagai pondasi peradaban. Misal saja, peradaban Mesopotamia (3500 SM), Mesir kuno (3150 SM), ataupun Inca (1200 M). 

Dari peradaban masa lampau, peradaban modern belajar dan berkembang. Tetapi tetap saja, setiap bangsa masih memiliki tingkat peradaban berbeda dalam waktu yang sama. Ambil contoh, bangsa Jepang pada pertengahan abad 20. Peradaban Jepang waktu itu mampu unggul lebih jauh dibandingkan bangsa lain di Asia. Walaupun sayangnya, keunggulan peradaban Jepang saat itu digunakan untuk menguasai bangsa lain di Asia.

Perbedaan tingkat peradaban di antara setiap bangsa ternyata terus berlanjut sampai saat ini. Kawasan Eropa dan Amerika Utara (atau lazim disebut kawasan negara-negara barat) mayoritas berisikan negara-negara maju. Sementara, kawasan lain masih tertinggal satu dan bahkan beberapa langkah. Meskipun, hal itu tidak serta merta berlaku secara keseluruhan. Beberapa bangsa di kawasan lain ternyata ada juga yang telah mampu menyamai keunggulan negara-negara barat. Sebut saja, Jepang dan Cina di Asia.

Untuk mencapai keberhasilan peradaban, kedua negara itu mengutamakan pengembangan pengetahuan, yang tak lepas dari dunia pendidikan. Dengan dasar pendidikan berkualitas yang ditanamkan sejak dini, pengetahuan berkembang mengikuti budaya membaca dan menulis. Alhasil, peradaban pun mengalami peningkatan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Pengetahuan Rendah

Pengembangan pengetahuan di Indonesia belum mampu mencapai titik optimal. Kondisi itu terjadi karena upaya menuju hal tersebut belum menjadi sesuatu yang popular. Salah satu faktornya, masyarakat Indonesia masih senang dengan budaya lisan.

Budaya lisan sebenarnya bisa menjadi pendukung budaya tulisan yang mencatatkan pengetahuan. Apabila, budaya lisan dilakukan dalam diskusi ilmiah membahas pengetahuan itu sendiri, baik secara formal maupun informal. Pada kenyataannya, jumlah diskusi ilmiah yang terselenggara masih sangat sedikit.

Untuk mudahnya, mari melihat perilaku mayoritas sekitar lingkungan kita. Salah satu kelompok yang ‘sangat akrab’ dengan budaya lisan adalah ibu rumah tangga. Kelompok ini telah mendapatkan stigma yang kental dengan ngerumpi saat saling tak sengaja bertemu. Entah ketika membeli sayuran di pedagang keliling atau tak sengaja berpapasan. Kalaupun mau terjadwal, maka dibuatlah arisan. Isinya tetap saja rumpian yang lebih banyak membicarakan perilaku orang lain atau gosip artis di televisi.

Perilaku tersebut ternyata menular kepada generasi penerus. Mudah sekali untuk melihat, beberapa anak muda bergerombol di kafe atau mal. Bahkan, beberapa di antaranya melakukan hal itu dengan sengaja membolos sekolah. Hanya untuk ngerumpi.

Kondisi budaya lisan tersebut semakin diperparah dengan budaya menonton. Sekadar melepas lelah, menonton mungkin berguna untuk merelaksasi otak. Realitasnya, program acara tersebut telah ‘memaksa’ masyarakat untuk duduk di depan televisi selama berjam-jam. Padahal, mayoritas sajian program acara yang ditampilkan televisi tak lepas dari gosip, sinetron, musik, dan komedi situasi, yang tidak banyak memberikan pengetahuan. Budaya lisan dan menonton menjadikan masyarakat terlena dengan kemudahan perilaku. Hal itu, disadari atau tidak, menghasilkan sikap malas berpikir. 

Imbas dari sikap malas berpikir berimplikasi pada rendahnya budaya membaca. Padahal, membaca merupakan landasan dasar untuk bisa menulis. Semakin minim kegiatan membaca bisa dipastikan semakin sedikit tulisan yang dihasilkan. Salah satu indikasi yang dapat dilihat adalah jumlah penerbitan buku.
Jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18 ribu judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40 ribu judul buku per tahun, India sebanyak 60 ribu judul buku per tahun, dan Cina sekitar 140 ribu judul buku per tahun (Kompas, 25/6/2012).

Dari sisi tulisan ilmiah, kondisinya pun serupa. Berdasarkan data Scimagojr, Journal, and Country Rank 2011, Indonesia berada di ranking 65 dengan jumlah 12.871 publikasi. Posisi Indonesia di bawah Kenya dengan 12.884 publikasi. Berada di peringkat pertama, Amerika Serikat dengan 5.285.514 publikasi. Bahkan, Singapura yang negerinya kecil saja ada di posisi 32 dengan 108.522 publikasi (okezone.com, 21/2/2012).

Perbaikan Sistem Pendidikan

Usaha perbaikan sistem pendidikan Indonesia telah mulai dilakukan dengan penyediaan alokasi anggaran yang mencukupi. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pengalokasikan anggaran untuk pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
Alokasi anggaran yang mencukupi memang menjadi salah satu faktor penting untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Walaupun begitu, anggaran tidak menjadi satu-satunya faktor peningkatan kualitas pendidikan. Faktor lain yang cukup penting adalah pengaturan kurikulum pendidikan.

Pelajaran menulis merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran ini adalah pelajaran paling awal yang telah diberikan sejak pendidikan dasar. Pertama kali masuk sekolah, seorang anak akan diajarkan cara membaca, berikutnya menulis. Tidak berhenti pada pendidikan dasar, pelajaran menulis terus diajarkan secara kontinu sampai pendidikan menengah bahkan perguruan tinggi. Mata pelajaran Bahasa Indonesia tetap ada pada setiap tingkat pendidikan.

Pertanyaannya adalah, apakah pelajaran menulis berhasil diserap? Apabila merujuk pada minimnya jumlah penerbitan buku dan sedikitnya jumlah publikasi ilmiah, dapat dikatakan, pelajaran menulis yang diberikan dalam pendidikan formal gagal. Tidak seluruhnya, tetapi sebagian besar.

Lalu, apa persoalannya? Menurut penulis, penyebabnya tak lebih karena kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia masih mengutamakan pemberian teori. Teori memang penting sebagai dasar menulis. Tetapi, hal terpenting untuk bisa menulis adalah praktik. Sudah banyak pakar yang mengatakan, untuk bisa menulis, hal yang harus dilakukan hanya berlatih, berlatih, dan berlatih. Untuk itu, pengaturan kembali persentase antara pemberian teori dan praktik harus menjadi tinjauan utama, yang akan menjadi dasar kurikulum pendidikan. Berikan teori secukupnya, selebihnya, berikan kesempatan kepada anak didik untuk berlatih, berlatih, dan berlatih.

Jika seorang anak telah terbiasa untuk menulis sedari kecil, itu akan menjadi bibit perilaku positif ketika dewasa. Kebiasaan pada saatnya akan menjadi budaya apabila dilaksanakan secara terus menerus. Pendidikan formal memiliki peran sangat besar. Meskipun banyak pihak menganggap keluarga merupakan institusi terdekat yang banyak memberikan pengaruh, nyatanya masih banyak orangtua yang memercayakan perubahan perilaku anak dalam institusi pendidikan formal.

Perubahan sebaiknya harus segera dimulai untuk membangun peradaban. Dengan menunjukkan eksistensi melalui hasil tulisan dari hasil penuangan pemikiran. Menulis tidak mengenal profesi. Apapun profesi seseorang, dia akan memiliki keunggulan apabila memiliki kemampuan menulis. Seperti halnya Darwin yang merupakan seorang naturalis. Meskipun banyak naturalis di dunia, tetapi Darwin mampu lebih unggul karena mampu menuangkan pemikirannya dalam tulisan. Mari bangun peradaban dengan mulai menulis.

Sumber Kompasiana 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar